Jauh
sebelum Indonesia merdeka, Eyang Syekh Dalem Abdul Manaf yang merupakan keturunan
ketujuh dari Syarif Hidayatullah atau yang
lebih terkenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati,meninggalkan kampung halamannya
untuk pergi ke Mekkah. Ketika beliau ingin pulang, beliau sempat berdoa di
Gubah Mahmud—dekat dengan Masjidil Haram, beliau memanjatkan doa betapa ia
ingin mempunyai kampung yang bebas dari penjajah. Dari sana, beliau membawa
sekepal tanah lalu ditebarkan di daerah rawa rawa pinggiran sungai Citarum yang
terpencil dan agak tersembunyi. Lokasi yang terpencil dan agak tersembunyi
dipilih untuk menghindari penjajah pada masa itu. Daerah tersebut akhirnya
diberi nama kampung Mahmud (kata
Mahmud sendiri berasal dari kata bahasa Arab Mahmuudah yang artinya pinuji atau
puji) dan menjadi
pusat perjuangan penyebaran agama Islam di daerah Priangan.
Secara
geografis, kampung ini terletak diantara sungai Citarum baru dan Citarum Lama.
Hal yang menjadi aneh ketika kampung Mahmud tak pernah terkena banjir padahal diperkirakan mempunyai elevasi 662-664 m, ketinggian yang lebih rendah dari Dayeuh Kolot,
Baleendah atau Cileuncang yang sudah sangat terkenal sering banjir. Konon, kampung yang terletak di antara dua sungai ini
dilindungi oleh putra pendiri kampung Mahmud, yaitu Raden Kalung Baima Nagara
yang merupakan campuran antara jin dan manusia yang mempunyai wujud ular
raksasa. Ular tersebut kepalanya
terletak di Gunung Wayang dan ekornya ada di sungai Citarum (Sanghyang Tikoro).
Gambar 1 Letak Kampung Mahmud diantara dua sungai
Sumber : https://parttimesleeper.wordpress.com/2013/08/31/catatan-perjalanan-kampung-mahmud/
Kampung Mahmud terletak di wilayah Kabupaten Bandung
Selatan, Kecamatan Marga Asih Desa Mekarrahayu di
RW 04. Dari pusat Kota Bandung,akses menuju sana dapat menggunakan angkot Tegalega-Mahmud,sementara
dari Soreang dapat menggunakan angkot yang menuju Cilampeni, lalu diteruskan dengan ojek
menuju kampung Pameuntasan, lalu menyebrang ke kampung Mahmud. Angkutan umum
yang menuju kampung Mahmud hanya beroperasi hingga pukul 18.00 WIB.
Saat
ini kampung Mahmud terkenal dengan wisata reliji. Terdapat Maqom Mahmud yang merupakan makam Eyang Syekh Dalem Abdul Manaf, orang orang biasa berziarah
ke maqam tersebut pada hari apapun terutama minggu ke-dua di bulan Syawal atau
Jumat kliwon. Masyarakat percaya pada hari tersebut roh roh nenek moyang akan
berkumpul dan mangabulkan semua permintaan Pada hari hari besar Islam seperti
Rajaban (27 Rajab) atau Muludan (12 Mulud) digelar shalawatan,pengajian dan
permainan terbang (kesenian tradisional Sunda buhun).
Gambar 2. Makam Eyang Syekh Dalem Abdul Manaf ramai
dikunjungi peziarah
Sumber : https://parttimesleeper.wordpress.com/2013/08/31/catatan-perjalanan-kampung-mahmud/
Selain wisata
reliji, wisata arsitektur kampung Mahmud juga patut diperhitungkan. Mereka
mempunyai bangunan rumah adat yang cukup khas. Rumah adat masyarakat asli
kampung Mahmud adalah rumah panggung tradisional masyarakat Sunda yang berstruktur
kayu dan berdinding bilik.Tipe bangunan merupakan rumah Jolopong—atap panjang
dan dinding rumah terbuat dari bilik ,lantai terbuat dari kayu atau biasa
disebut balagbag, kolom kayu disangga pondasi batu. Didalamnya terdapat ruang
yang cukup besar untuk menerima tamu atau untuk mengadakan acara selamatan.
Dalam proses konstruksi,rumah ini menghidari
penggunaan bahan kaca,genteng barong dan tembok. Hal tersebut mempunyai
filosofi kesederhanaan, mereka meyakini bahwa rumah merupakan tempat tinggal
sementara,tidak abadi. Menurut ajaran Islam,tidak baik seseorang hanya
memikirkan pembangunan fisik yang bersifat duniawi saja, ada baiknya manusia
banyak menghabiskan waktu diluar rumah dengan bekerja, beribadah di mesjid atau
bersilaturahmi dengan tetangga. Dengan mengutamakan kesederhanaan,manusia akan
terhindar dari iri dan dengki lalu bisa fokus untuk meningkatkan keimanan dan
ketaqwaan terhadap Allah S.W.T.
Gambar 3. Rumah Tradisional Masyarakat Kampung Mahmud
Sumber: https://ririnkyurin.wordpress.com/tag/kampung-adat-mahmud/
Kampung Mahmud sama seperti kampung adat lainnya yang
mempunyai kebiasaan kebiasaan yang khas. Masyarakat kampung Mahmud dilarang
memelihara soang (angsa) dan kambing. Selain itu, membuat sumur (sekarang sudah
diperbolehkan karena sumber air dari sungai citarum sudah tercemar),pertunjukan
wayang,menabuh go’ong dan menampilkan kesenian jaipongan juga merupakan hal
yang dilarang.Hal ahal tersebut bukan merupakan larangan yang tertulis, hanya
masyarakat percaya bahwa hal hal tersebut akan dilanggar akan menimbulkan
malapetaka untuk si pelanggar. Malapetaka tersebut dapat berupa kesulitan
ekonomi,penyakit,rusaknya hubungan rumah tangga,dan hal hal buruk lainnya.
Kampung Mahmud dengan segala keunikannya layak dikunjungi, apalagi letaknya tidak terlalu jauh dari kota Bandung. Kampung yang sarat dengan nilai historis ini patut dipelajari nilai nilainya. Jadi tunggu apalagi, luangkan waktu, buat itenarary dan meluncur ke kampung Mahmud!
Referensi:
http://sundasamanggaran.blogspot.com/2010/01/selayang-pandang-kampung-adat-mahmud-di.html
http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/12/kampung-adat-mahmud-pusat-penyebaran-islam-di-bandung
https://parttimesleeper.wordpress.com/2013/08/31/catatan-perjalanan-kampung-mahmud/